INDONESIA. Nama sebuah bangsa. Tanah yang sedari dulu saya pijak dan saya banggakan. Bagaimana tidak? Katanya kayu saja bisa jadi tanaman. Bahkan lautannya seindah kolam susu. Bangsa ini mempunyai bukit penuh emas murni, uranium, batu bara, bahkan ladang minyak yang luar biasa nilainya. Dengan 17.504 pulau dan tiga pulaunya menjadi salah satu dari enam pulau terluas di dunia. Luas lautannya terbesar di dunia, seluas 93.000 km persegi dan panjang pantainya sekitar 81.000 km persegi atau hampir 25% panjang pantai di dunia. Terumbu karangnya (Coral Reef) adalah terkaya (18% dari total dunia). Biodiversity anggreknya terbesar di dunia, ada 6.000 jenis anggrek. Memiliki hutan bakau terbesar di dunia. Negeri ini juga memiliki spesies ikan hiu terbanyak di dunia yaitu 150 spesies. Primata terkecil di dunia, ular terpanjang di dunia, ikan terkecil di dunia, bunga terbesar di dunia, semua di temukan di sini. Bahkan satu-satunya binatang purba darat terbesar di dunia yang masih hidup ada di negeri ini. Luar biasa bukan? Semasa SD dulu, aku selalu berucap bangga dan ingin sekali bertemu dengan orang dari Negara lain lantas dengan bersungut-sungut membanggakan bangsaku ini. Ah, indahnya. Namun ketika niatanku itu kuberitahu kepada guru SD-ku dulu, ia malah berkata untuk apa. Akhirnya kutemukan jawabannya delapan tahun setelah hari itu, ketika akalku betul-betul tercerahkan.
Bangsa ini sudah terlalu kaya
mungkin. Pemerintahnya berleha-leha dan rela ketika aset negaranya dikuras
habis hingga tetes terakhir oleh bangsa asing. Sadarlah, bangsa kita terlampau mainstream. 49 % rakyat kita termasuk
golongan miskin menurut penelitian Bank Dunia. Lembaga Negara berasumsi hanya sebesar 16,5 %. Haih haih. Terbukti, di
bangsa ini kadar mampu secara ekonomi tampak begitu rendah dalam persepsi
pengelola bangsa. Terlalu manipulatif.
Rakyat pun selalu menggerutu
menyalahkan pemerintah. Itu pun sangat mainstream.
Di pasar, sekolah, tempat kerja, mal, bandara, jalan, tempat ibadah, rumah,
pos ronda, bahkan di WC umum, selalu ada saja yang berkata ketidakadilam
pemerintah. Para pengelola Negara juga seakan tutup telinga. Acuh tak acuh. Itu
juga mainstream. Mungkin ada satu-dua
pejabat yang tiba-tiba menghampiri rakyat lalu menampung aspirasi. Padahal tujuannya
hanya karena pencitraan. Karakter begitu pun menjadi mainstream.
Jika skala bebas korupsi di sebuah
Negara diasumsikan dari angka satu hingga sepuluh, berdasarkan survei yang
dilakukan oleh Lembaga Konsultasi Risiko Politik dan Ekonomi (PERC), Indonesia
mendapatkan skor 8,32 (mendekati sempurna korupsi). Wow! Luar biasa. Kita pun
dapat mengatakan bahwa korupsi di negeri ini sudah dapat dikatakan budaya dan
itu mainstream. Mengenai peradilan,
sungguh membuat bulu kuduk saya berdiri. Mengerikan sekali keadaannya. Koruptor
yang menguras uang Negara hingga belasan miliar rupiah hanya dijatuhi hukuman
beberapa tahun saja. Sedangkan pencuri sandal jepit dan beberapa buah kakao
dituntut dengan jumlah masa hukuman lebih lama. Keadaan seperti ini sudah amat
biasa kita saksikan di panggung peradilan. Boleh ‘kan kita katakan ini mainstream? Bangsa kita terlampau mainstream.
Ah,
dari tadi hanya membahas dosa pemerintah saja! Tidak obyektif!
Bagaimana
pemerintah juga menentukan bagaimana rakyat. Bukankah para pemimpin dipilih
langsung oleh rakyat? Tingkat Negara, provinsi, kota, kabupaten, lurah, bahkan
RT pun dipilih langsung oleh rakyat. Itu mencerminkan siapa rakyatnya. Ketika
kampanye menggembor-gemborkan janji yang tidak pernah ditepati. Membagi-bagikan
kerudung, uang tunai, pin, beras, dan barang pokok lainnya. Hebatnya mayoritas
dari kita menerima dan memilih calon pemimpin yang memberikannya. Politik uang
di negeri ini amat sering kita lihat. Maka tindakan tidak baik itu menjadi mainstream. Ketika pemimpin itu
menjalankan pemerintahan yang tidak baik, lalu kita memprotes. Untuk apa?
Bukankah mereka yang kita pilih dulu? Betul apa yang ditulis Mochtar Lubis
dalam bukunya “Manusia Indonesia Sebuah Pertanggungjawaban” yang menjabarkan
sifat negatif manusia Indonesia. Salah
satunya adalah hipokrit atau munafik. Bermuka dua!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar