Senin, 01 September 2014

Sadarlah, Bangsa Kita Mainstream

    INDONESIA. Nama sebuah bangsa. Tanah yang sedari dulu saya pijak dan saya banggakan.  Bagaimana tidak? Katanya kayu saja bisa jadi tanaman. Bahkan lautannya seindah kolam susu. Bangsa ini mempunyai bukit penuh emas murni, uranium, batu bara, bahkan ladang minyak yang luar biasa nilainya. Dengan 17.504 pulau dan tiga pulaunya menjadi salah satu dari enam pulau terluas di dunia. Luas lautannya terbesar di dunia, seluas 93.000 km persegi dan panjang pantainya sekitar 81.000 km persegi atau hampir 25% panjang pantai di dunia. Terumbu karangnya (Coral Reef) adalah terkaya (18% dari total dunia). Biodiversity anggreknya terbesar di dunia, ada 6.000 jenis anggrek. Memiliki hutan bakau terbesar di dunia. Negeri ini juga memiliki spesies ikan hiu terbanyak di dunia yaitu 150 spesies. Primata terkecil di dunia, ular terpanjang di dunia, ikan terkecil di dunia, bunga terbesar di dunia, semua di temukan di sini. Bahkan satu-satunya binatang purba darat terbesar di dunia yang masih hidup ada di negeri ini. Luar biasa bukan? Semasa SD dulu, aku selalu berucap bangga dan ingin sekali bertemu dengan orang dari Negara lain lantas dengan bersungut-sungut membanggakan bangsaku ini. Ah, indahnya. Namun ketika niatanku itu kuberitahu kepada guru SD-ku dulu, ia malah berkata untuk apa. Akhirnya kutemukan jawabannya delapan tahun setelah hari itu, ketika akalku betul-betul tercerahkan.

    Bangsa ini sudah terlalu kaya mungkin. Pemerintahnya berleha-leha dan rela ketika aset negaranya dikuras habis hingga tetes terakhir oleh bangsa asing. Sadarlah, bangsa kita terlampau mainstream. 49 % rakyat kita termasuk golongan miskin menurut penelitian Bank Dunia. Lembaga Negara berasumsi  hanya sebesar 16,5 %. Haih haih. Terbukti, di bangsa ini kadar mampu secara ekonomi tampak begitu rendah dalam persepsi pengelola bangsa. Terlalu manipulatif.
    Rakyat pun selalu menggerutu menyalahkan pemerintah. Itu pun sangat mainstream. Di pasar, sekolah, tempat kerja, mal, bandara, jalan, tempat ibadah, rumah, pos ronda, bahkan di WC umum, selalu ada saja yang berkata ketidakadilam pemerintah. Para pengelola Negara juga seakan tutup telinga. Acuh tak acuh. Itu juga mainstream. Mungkin ada satu-dua pejabat yang tiba-tiba menghampiri rakyat lalu menampung aspirasi. Padahal tujuannya hanya karena pencitraan. Karakter begitu pun menjadi mainstream.
   Jika skala bebas korupsi di sebuah Negara diasumsikan dari angka satu hingga sepuluh, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Lembaga Konsultasi Risiko Politik dan Ekonomi (PERC), Indonesia mendapatkan skor 8,32 (mendekati sempurna korupsi). Wow! Luar biasa. Kita pun dapat mengatakan bahwa korupsi di negeri ini sudah dapat dikatakan budaya dan itu mainstream. Mengenai peradilan, sungguh membuat bulu kuduk saya berdiri. Mengerikan sekali keadaannya. Koruptor yang menguras uang Negara hingga belasan miliar rupiah hanya dijatuhi hukuman beberapa tahun saja. Sedangkan pencuri sandal jepit dan beberapa buah kakao dituntut dengan jumlah masa hukuman lebih lama. Keadaan seperti ini sudah amat biasa kita saksikan di panggung peradilan. Boleh ‘kan kita katakan ini mainstream? Bangsa kita terlampau mainstream.
    Ah, dari tadi hanya membahas dosa pemerintah saja! Tidak obyektif!
  Bagaimana pemerintah juga menentukan bagaimana rakyat. Bukankah para pemimpin dipilih langsung oleh rakyat? Tingkat Negara, provinsi, kota, kabupaten, lurah, bahkan RT pun dipilih langsung oleh rakyat. Itu mencerminkan siapa rakyatnya. Ketika kampanye menggembor-gemborkan janji yang tidak pernah ditepati. Membagi-bagikan kerudung, uang tunai, pin, beras, dan barang pokok lainnya. Hebatnya mayoritas dari kita menerima dan memilih calon pemimpin yang memberikannya. Politik uang di negeri ini amat sering kita lihat. Maka tindakan tidak baik itu menjadi mainstream. Ketika pemimpin itu menjalankan pemerintahan yang tidak baik, lalu kita memprotes. Untuk apa? Bukankah mereka yang kita pilih dulu? Betul apa yang ditulis Mochtar Lubis dalam bukunya “Manusia Indonesia Sebuah Pertanggungjawaban” yang menjabarkan sifat negatif manusia Indonesia.  Salah satunya adalah hipokrit atau munafik. Bermuka dua!

   Sahabat muda yang baik tujuannya, sungguh tidak maksud saya untuk mengumbar aib bangsa sendiri. Saya hanya sekadar menyadarkan poin penting dari kehadiran kita di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saya tidak menyalahkan rekan mahasiswa yang berdemonstrasi. Sekalipun saya anggap tindakan demo itu mainstream. Bukankah cara yang sama hanya akan membuat kita semua mendapatkan hasil yang sama? Bangsa ini butuh generasi muda yang produktif. Tidak hanya menjadi beban Negara. Tidak hanya menggerutu. Tidak hanya mendemo. Jujur saya sendiri ada perasaan takut ketika berjumpa di jalan dengan sekelompok mahasiswa yang baru saja berdemo. Ya, itu aspirasi rakyat. Tapi apakah itu cukup efektif? Pejabat yang ditulikan dan dibutakan oleh uang tidak akan trenyuh hatinya. Maka, gunakan langkah lain yang lebih efektif. Bukankah rekan mahasiswa ingin rakyat kita melek teknologi? Mengapa tidak mengunjungi tempat pelosok di negeri ini dan mengajari mereka? Bukankah kita semua ingin rakyat Indonesia tidak lagi miskin? Mengapa tidak mendirikan usaha padat karya di daerah tertinggal yang bisa menguntungkan mereka? Kita semua mampu. Jika ingin bangsa kita maju, sebelum masa ketika kita bisa memimpin bangsa, maka cobalah berguna terlebih dahulu bagi sesama. Gunakanlah langkah yang tidak mainstream dalam menyelamatkan bangsa. 

by: Kaki Merapi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar